Decision

Selama 19 tahun aku hidup, banyak banget keputusan yang aku ambil. Namun, kebanyakan keputusan itu dipengaruhi oleh orang tuaku. Contohnya, ketika diberi dua pilihan untuk melanjutkan SMP di mana, aku memilih satu sekolah. Awalnya orang tuaku menentang, tapi aku bersikeras. Pada akhirnya, aku memasuki sekolah yang kupilih. Contoh lagi, aku benar-benar membiarkan orang tuaku memutuskan di mana aku akan meneruskan SMA dan jurusan apa yang aku ambil. Keputusan itu merupakan keputusan yang kusyukuri sekaligus kusesali sampai sekarang. Aku bersyukur menjadi alumni dari sekolah itu, karena berkat sekolah itu aku belajar banyak hal dan diberi banyak bekal sehingga tidak terlalu terkejut dengan ritme kegiatan perkuliahan. Namun, yang kusesali adalah aku tidak memperjuangkan jurusan yang ingin kumasuki sejak SMP. Karena jurusan itu menentukan tempatku sekarang.


Ketika  semua orang sudah mulai memikirkan ke mana mereka akan melanjutkan pendidikan mereka, begitu pula aku, orang tuaku lagi-lagi mempengaruhi keputusanku. Aku dilarang melanjutkan kuliah di luar kota karena alasan "Novita, kamu anak perempuan satu-satunya dan Ibu nggak tega kalau ngebiarin kamu hidup di kota orang sendirian," dan alasan biaya. Aku juga dilarang melanjutkan pendidikanku ke jurusan yang kuinginkan, yaitu psikologi. "Kamu mau jadi apa? Lulusan psikologi prospek kerjanya apa?" begitu kata mereka. Aku diminta untuk memilih jurusan teknik. Aku diminta untuk melanjutkan sekolah kedinasan. "Masuk STAN aja, hidupmu terjamin, biaya kuliahmu terjamin," begitu kata mereka. Yang terakhir, aku tidak boleh berpikir untuk kuliah di kampus swasta walaupun aku banyak mendapat tawaran beasiswa karena dua alasan, yaitu gengsi orang tuaku dan biaya.

Masa-masa itu merupakan masa-masa sulit buatku. Aku banyak overthinking memikirkan masa depanku yang tidak jelas dan maju-mundur belajar lintas jurusan untuk SBMPTN demi mengejar mimpiku masuk Psikologi karena memang sudah dari awal tidak direstui. Akhirnya aku tidak pernah mempersiapkan SBMPTN dan bergantung seutuhnya pada SNMPTN.

Lalu, kapan aku membuat keputusan sendiri tanpa pengaruh orang tuaku?

Ketika aku akhirnya berdiskusi dengan teman baikku mengenai kesulitan-kesulitanku. Ketika aku memutuskan untuk melepaskan mimpiku untuk masuk Psikologi. Ketika aku menolak dengan keras untuk mendaftar STAN. Ketiak aku membatalkan pendaftaranku masuk ke Poltekes. Ketika aku memilih Bioteknologi sebagai pilihan pertama dan Biologi sebagai pilihan kedua di SNMPTN. Ketika aku memutuskan untuk memilih UB sebagai kampus tujuanku, bukannya UGM atau UNS, seperti cita-citaku sejak SMP. Aku memutuskan untuk sedikit menurut pada pengaruh orang tuaku dan memberi beberapa jalan tengah untuk mereka--bahwa aku tidak berminat untuk mendaftar masuk STAN dan menolak mentah-mentah masuk jurusan teknik.

Saat mengambil keputusan itu, jujur saja aku takut. Aku benar-benar takut kalau aku salah melangkah dan terdampar di tempat yang tak aku ketahui medannya. Yang paling utama adalah, aku takut menyesal.

Namun ternyata keputusan itu membawa aku ke tempat ini. Apakah aku menyesal? Tidak juga. Aku bersyukur malah. Walaupun ospeknya berat, tugasnya berat, matkulnya berat, tapi aku bertemu dengan banyak orang baik yang berpotensi menjadi teman-teman baikku. Ospek, tugas, mata kuliah, merupakan resiko yang memang harus aku hadapi. Kini aku hanya berharap aku dapat melewati semua resiko itu dan sampai di tujuan yang telah disediakan Tuhan buatku.

Aku bersyukur.

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top